Bandara Tunggul Wulung, Kabupaten Cilacap

Belasan mobil diparkir di tepi landasan pacu Bandara Tunggul Wulung. Semua lampu depannya menyala: memandu pesawat yang hendak mendarat. Ada tamu penting? Bukan. Dan ini juga bukan shooting film. Ini gara-gara Hatta Rajasa, Menko Perekonomian, memerintahkan agar bandara Tunggul Wulung, yang tak punya lampu navigasi malam, harus buka 24 jam. Untuk apa? Tak lain dalam konteks peristiwa April 2011: kebakaran sejumlah tangki BBM di kilang minyak Pertamina di Cilacap. Bandara perlu buka 24 jam antara lain untuk mendaratkan foam pemadam kebakaran yang diangkut bolak balik oleh pesawat-pesawat TNI-AU.

Bandara yang dibangun Pertamina ini memang bandara kecil, berkelas bandara perintis. Sampai tahun lalu pun, dan juga kini, bandara ini masih seperti orang kantoran: hanya buka siang hari, dan masih belum punya lampu navigasi malam hari. Walhasil, ketika terjadi keadaan darurat seperti yang terjadi tahun silam, aksi bagai adegan film Hollywood pun harus dijalankan. Dan rasanya sah-sah saja kalau Hatta Radjasa memberi komando buka 24 jam karena pada kabinet SBY periode sebelumnya dia kebetulan jadi Menteri Perhubungan.

Bandara Tunggu Wulung sudah terbilang lumayan. Panjang landasannya sudah 1,4 kilometer dan bisa didarati pesawat sekelas CN-235. Merpati pun, hingga 2006, pernah melayani secara komersial dengan pesawat CN-235. Namun, dengan alasan membantu kelancaran penerbangan ke Aceh di era sibuk pasca-tsunami, Merpati pamit mundur per 18 Desember 2006. Tsunami di Aceh sendiri terjadi dua tahun sebelumnya, Desember 2004.

Selain Merpati, Wings Air juga sudah tak lagi terbang ke sana. Yang masih bertahan dan bahkan makin rajin adalah Susi Air, yang setia berkiprah denagn pesawat 12 kursinya: Cessna 208B - Grand Caravan.