Petani Buta Huruf di Grobogan Dituntut 5 Tahun Penjara Meski tidak Korupsi, Begini Kronologinya!

Seorang petani buta huruf asal Desa Teguhan, Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan dituntut pidana penjara selama 5 tahun penjara

Penulis: m zaenal arifin | Editor: muslimah
tribunnews
Ilustrasi sidang 

Laporan Wartawan Tribun Jateng, M Zainal Arifin

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Seorang petani buta huruf asal Desa Teguhan, Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan, Sakimin, harus menerima kenyataan dituntut pidana penjara selama 5 tahun penjara.

Jaksa dari Kejari Purwodadi mendakwa Sakimin melakukan korupsi dana Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Desa Teguhan, Kabupaten Grobogan tahun 2014.

Tuntutan pidana yang dijatuhkan kepada Sakimin tersebut terbilang cukup tinggi. Jaksa Djohar Arifin mengatakan, tuntutan tersebut segaja dijatuhkan  karena terdakwa bersama satu terdakwa lain yaitu Andi Poedjo Soebroto, adik dari Kepala Desa Teguhan, dinilai tidak koperatif dengan tidak mengembalikan kerugian negara.

"Kerugian negara belum ada yang dikembalikan. Makanya kita tuntut tinggi. Sebenarnya kita kasihan, yang adiknya kades tidak mengakui perbuatan, kalau yang petani sudah mengakui," katanya usai sidang.

Dalam sidang tuntutan yang dipimpin hakim Suprapti itu, jaksa menilai Sakimin bersalah melakukan korupsi bersama Andi Poedjo. Ia dinilai melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 KUHP, sebagaimana dalam dakwaan pertama.

"Menuntut, pidana penjata terhadap terdakwa Sakimin dengan pidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp 50 juta subsidair 4 bulan kurungan," kata jaksa Djohar dalam sidang tuntutan.

Sementara terhadap terdakwa Andi Poedjo Soebroto, yang tidak lain adalah adik kandung Kepala Desa Teguhan, jaksa menuntut pidana penjara selama 7 tahun. Selain itu, jaksa juga menuntut Andi Poedjo membayar denda sebesar Rp 50 juta subsidair 4 bulan kurungan.

"Untuk pengembalian uang pengganti kerugian negara yaitu sebesar Rp 500,5 juta, dibebankan pada terdakwa Andi Poedjo. Jika tidak dibayarkan, maka akan disita asetnya dan jika tidak mencukupi maka akan diganti dengan pidana penjara selama 2 bulan," lanjut jaksa Djohar.

Jaksa Djohar mengakui bahwa terdakwa Sakimin tidak menikmati sedikitpun uang hasil korupsi dana Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Desa Teguhan itu. Sakimin yang memiliki toko kecil-kecilan kayu "Jati Semi", hanya dipinjam namanya oleh terdakwa Andi Poedjo.

Bahkan, hal itu disampaikan jaksa dalam pertimbangan yang meringankan tuntutan pidananya. Selain tidak menikmati uang hasil kejahatan yang sebenarnya dilakukan Andi Poedjo, Sakimin juga berterus terang mulai dari penyidikan hingga persidangan berlangsung.

"Sedangkan terdakwa Andi Poedjo, selain perbuatannya tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, perbuatan Andi Poedjo telah merugikan keuangan negara, terdakwa Andi tidak berterus terang dan juga menikmati uang hasil korupsi," terangnya.

Menanggapi tuntutan tersebut, penasehat hukum Sakimin, Nugroho Budiantoro mengaku akan mengajukan pembelaan pada sidang selanjutnya. "Kami akan ajukan pembelaan pada pekan depan," kata Nugroho tegas.

Nugroho menambahkan, tuntutan terhadap terdakwa Sakimin tidak masuk akal. Pasalnya, terdakwa Sakimin tidak terlibat secara langsung dalam proyek BSPS iti. Bahkan, semua dilakukan oleh terdakwa Andi Poedjo dan uangnya juga dinikmati Andi Poedjo.

"Tuntutannya tidak manuasiawi. Klien saya hanya diakai tokonya dan tidak menikmati uangnya. Tapi tetap dituntut tinggi yaitu 5 tahun," ujarnya.

Perlu diketahui, kasus ini bermula pada tahun 2013, ketika pemerintah desa Teguhan mengajukan 275 unit rumah warga ke program BSPS Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera). Program tersebut bertujuan untuk memperbaiki rumah tidak layak huni bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dengan dana bantuan sebesar Rp 7,5 juta per unit.

Namun, saat Kemenpera mengecek data lapangan, diketahui hanya 264 unit rumah yang membutuhkan bantuan. Jumlah total bantuan itu mencapai Rp 1,98 miliar. Dana per unit itu dicairkan dalam dua gelombang masing-masing Rp 3,75 juta berupa bahan bangunan.

Para penerima bantuan menunjuk terdakwa Andi Poedjo sebagai supplier bahan bangunan. Hingga kemudian tim Kemenpera mengecek lagi dan terdapat selisih dalam pembagian dana di lapangan sebanyak Rp 500,5 juta. Total dana di lapangan adalah Rp. 1,49 miliar. Sedangkan Sakimin hanya dipinjam nama tokonya oleh Andi Poedjo. (*)

Sumber: Tribun Jateng
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    AA
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2024 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved