Liputan Khusus Konflik Kepala Daerah
Pecah Kongsi Paling Kasat Mata di Wilayah Malang
Massa pendukung kedua petinggi beberapa kali saling berhadapan dalam aksi-aksi unjuk rasa.
SURYA Online, SURABAYA - Pecah kongsi kepala daerah wakilnya bukan hanya di Surabaya. Malah bisa sudah menjadi wabah politik di Tanah Air.
Data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menunjukkan, sebanyak 96 persen pasangan terpilih mengalami pecah kongsi setelah menjabat.
“Sejak diterapkan Pemilukada secara langsung, 96% pasangan kepala daerah pecah kongsi. Yang akur cuma 4%,” ujar Djohermasyah Djohan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri saat hearing dengan Komisi III DPR, dua pekan lalu.
Di Jatim sendiri, pecah kongsi politik sudah lama ada. Pecah kongsi Bupati Bangkalan Fuad Amin Imron dan wakilnya Muhammad Dong tahun 2005 menjadi peristiwa paling menyita perhatian publik.
Mereka bukan hanya pecah kongsi, tapi benar-benar konflik terbuka.
Massa pendukung kedua petinggi beberapa kali saling berhadapan dalam aksi-aksi unjuk rasa.
Hal serupa terjadi di Sampang antara Bupati Nur Tjahja dan wakilnya Hannan Hasib.
Konflik tidak reda hingga masa pemerintahan habis. Kini Hannan Hasib menggantikan Nur Tjahja sebagai bupati bergandengan dengan Fadlilah Boediono, mantan bupati Sampang sebelumnya.
Drama pecah kongsi yang kini masih berlangsung, bisa dengan mudah dilihat di Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Lamongan.
Di daerah lain, pecah kongsi hanya menjadi rasan-rasan di kalangan birokrasi dan politisi karena belum terlihat secara kasat mata.
Di Kabupaten dan Kota Malang, konflik dua pejabat tertinggi itu sudah lama menjadi perbincangan publik.
Saking ramainya isu itu, sampai-sampai Pusat Pengembangan Otonomi Daerah (PP Otoda) Universitas Brawijaya tertarik melakukan riset tentang ketidakharmonisan pejabat tinggi daerah itu.
Riset dilakukan pada Desember 2013 silam itu sekaligus menilai 100 hari masa kepemimpinan pasangan Wali Kota Malang dan wakilnya, Moh Anton dan Sutiaji.
Hasilnya, pada 100 hari kepemimpinan pasangan tersebut, telah ada indikasi keretakan hubungan.
Pasangan wali kota dan wakil wali kota ini dianggap gagal membangun sinergitas dan keseimbangan peran di antara keduanya.
Indikasinya Anton dan Sutiaji adalah jarangnya kedua tokoh ini tampil bersama di hadapan publik.
Selain itu, baliho-baliho program Pemkot Malang juga jarang menampilkan kedua sosok ini secara bersamaan.
Sutiaji, juga dianggap tak pernah diberi keleluasaan dalam memberikan pernyataan publik melalui media dan membuat kebijakan.
Peran Sutiaji semakin tak terlihat sejak Abah Anton, panggilan akrab Wali Kota Malang, memperpanjang masa jabatan Sekkota. (idl/ben)